Berebut Telur Emas
Suatu hari, Nyonya Poo hendak memberi makan ayam-ayamnya. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti dan ia pun berteriak histeris. Tuan Hock datang tergopoh-gopoh. Wajahnya cemas karena ia pikir telah terjadi sesuatu pada Nyonya Poo.
Nyonya Poo tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangan kanannya dan menunjuk sesuatu. Tuan Hock mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Nyonya Poo. Sebutir telur ayam tampak tergeletak di tanah. Tapi itu bukan telur biasa. Telur itu berkilauan seperti emas.
Tuan Hock dan Nyonya Poo mendekati telur itu. Mereka berjingkat, seolah-olah tidak ingin membuat telur itu terganggu, atau menggelinding karena langkah kaki mereka.
“Menurutmu, apa itu benar-benar sebutir telur emas?” bisik Nyonya Poo.
“Entahlah...”
Tangan Tuan Hock terulur. Diraihnya telur itu dan didekatkannya tepat di depan kedua matanya. Ia menoleh pada Nyonya Poo dan berkata dengan semangat.
“Ini benar-benar telur emas!”
“Hah!? Telur emas? Telur emas!” Nyonya Poo berteriak dan melompat-lompat. Ia sangat girang. Kepalanya mendadakdipenuhi rencana-rencana yang akan ia lakukan dengan telur emas itu.
“Sini, berikan padaku!” Kata Nyonya Poo. Tangannya bergerak cepat hendak merebut telur emas dari tangan Tuan Hock. Tapi dengan cekatan Tuan Hock menghindar.
“Tidak bisa! Telur ini milikku. Aku akan menjualnya ke toko. Lalu, uangnya akan kugunakan untuk membeli beberapa ekor kambing,” ujar Tuan Hock. Matanya berbinar, membayangkan hasil yang akan ia peroleh dari peternakan kambingnya
“Oh, ya? Kau tidak bisa menggunakannya untuk itu!” kata Nyonya Poo. Tuan Hock yang sedang membayangkan kambing-kambing tidak sempat menghindar, ketika Nyonya Poo kembali merebut telur itu darinya.
“Telur ini milikku. Aku lah yang sudah bersusah payah memberi makan ayam setiap hari. Dan aku akan menjualnya agar aku bisa membeli pakaian bagus dan aneka makanan yang enak.
“Tapi aku lebih berhak, sebab aku adalah kepala rumah tangga. Lagi pula, bukankah aku yang setiap hari membeli makanan ayam di kota?” bantah Tuan Hock.
Kau selalu mau menang sendiri!” ujar Nyonya Poo.
Tuan Hock dan Nyonya Poo sama-sama tidak mau mengalah. Nyonya Poo berusaha menyembunyikan telur emas itu di dalam kantung bajunya, sementara Tuan Hock berusaha merebutnya. Mereka seperti dua anak kecil yang sedang bertengkar.
Di saat itulah, Jhon datang menghampiri Tuan Hock dan Nyonya Poo. Ia terkejut melihat telur di tangan Nyonya Poo.
“Oh, ya Tuhan, akhirnya kau kutemukan!” Jhon mengambil telur emas dari tangan Nyonya Poo.
“Hati-hati, Jhon!” teriak Tuan Hock dan Nyonya Poo berbarengan.
“Kau bisa memecahkan telur emas itu!”
Jhon mengernyitkan dahi.
“Telur emas?”
“Ya, telur emas yang kau pegang itu. Jangan sampai kau memecahkannya!"
Jhon bengong. Mulutnya menganga seolah-olah hendak menelan telur di tangannya. Tapi tak lama kemudian, bahu Jhon terguncang. Ia tertawa keras. Sangat keras hingga semua orang mungkin bisa mendengarnya dari kejauhan.
HA HA HA HA
“Ayo lah ayah, ibu, ini hanya telur biasa,” ujarnya di sela tawa.
“Bagaiman mungkin? Itu telur emas!”
“Yeah. Guruku di sekolah memberiku tugas membuat kerajinan dari telur. Dan telur ini adalah hasil karyaku.” Ujar Jhon bangga. Ia membolak-balik telur di tangannya.
“Luar biasa. Tak kusangka hasil mengecatku akan sebagus ini. Ini seperti telur emas sungguhan!”
Tuan Hock dan Nyonya Poo terbengong-bengong. Mereka berpandangan dan akhirnya tetawa. Mereka bertengkar hanya gara-gara telur emas palsu! Keduanya lalu berpelukan dan saling memaafkan.
“Baiklah, Jhon,” kata Tuan Hock.
“Sepertinya melukis telur adalah kegiatan yang sangat menyenangkan. Bagaimana jika kita melukis telur bersama?” usulnya.
Nyonya Poo mengangguk setuju. Jhon melonjak senang. Ia lalu mengambil beberapa kaleng cat di gudang. Dan tak lama kemudian, Tuan Hock, Nyonya Poo, dan Jhon, terlihat asik melukis telur. Mereka benar-benar keluarga yang kompak!